WISATA FAGOGORU


"Sebuah Pengembangan Pariwisata Berbasis Kearifan Lokal di Halmahera Tengah"


Oleh: Hamdan Halil
Mahasiswa Indonesia Jentera School of Law


Merawat Pesona Halmahera Tengah
Rasanya tak berlebihan, jika Halmahera Tengah disebut sebagai salah satu mutu-manikam di Kawasan Timur Nusantara. Boki Moruru yang dilansir Gua Terpanjang di dunia, hamparan Pasir putih di Pulau Sayafi dan Liwo, Danau Pulau Moor yang teduh, Telaga Yoi yang membiru, Telaga Nusliko yang dipagari hijaunya Mangrove,  senja di Pulau Imam-Khuleyefu, Lemba Hutan Akejira dan seterusnya, ialah sekian   destinasi eksotika  yang menghampar elok di  27%  luas daratan dari total  luas wilayah Halmahera Tengah (Halteng). Tanpa terkecuali, 73% luas Perairan Laut yang kaya potensi Kelautan dan garis Pantai beserta kondisi bawah laut yang memiliki keunikan spesies endemik dan terumbu karang yang masih lestari. Pun, beralasan slogan Baronda Halteng di gaungkan, promosi daya pikat pesona Halmahera Tengah dimata publik Regional, Nasioal maupun Internasional untuk berkunjung menjamah surga rekreasi yang jatuh di bumi Fagogoru ini. 
Keindahan alam  merupakan karunia dan mahakarya Tuhan Yang Maha Esa. Patut disyukuri dengan segenap rasa memiliki  sarat hastrat lestari. Di kelola atau diterlantarkan, adalah pertanyaan mendasar sebelum lanscape mutu-manikam daerah ini direnggut nestapa puing rongsokan, sebelum senandung memoriam  merekah kengerian-kerakusan ekstrasi yang geliat bergerak massif, menepih piluh dikemudian hari.
Mensyukuri nikmat hamparan alam dengan segala elok eksotik tersebut diatas adalah pilihan untuk menjaga kelangsungan alam tetap lestari dan berdaya guna secara simbiosa-mutualism. Namun,Perpektif pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) cukup kompleks dengan dalil kemanfaatan yang  beragam pula. Bahkan pun, paradigma alam untuk manusia (antroposentrism) mewarnai pola pikir manusia dalam memandang dan memperlakukan alam sebagai mesin pemuas kebutuhan manusia. Tanpa terkecuali  paradigma pengelolaan pariwisata masa lalu masih mengadopsi konsepsi sumber daya yang bernilai wisata pada term ekonomi semata. Giliranya, alam sekedar tumpukan sumber daya  yang menjanjikan benefit ekonomi. Pilihan pengelolaanya pun, menggeliatkan sejumlah industri ekstraktif untuk mengeruk SDA dan menjual pesona alam, bermuara pada titik yang menghawatirkan  keberlangsungan  daya dukung lingkungan. Hingga kerapkali, alam  menampakkan peran antagonisnya berupa bencana alam  sebagai akumulasi ketidakmampuan daya tampung kerusakan yang mengsubsidi  ketidakesimbangan dan merentang-pendek  daya dukung lingkungan.
Ketika Halmahera Tengah diproyeksikan sebagai Kawasan ekonomi khusus (KEK) industri pertambangan, Bonus keterancaman keindahan pulau beserta objek eksotiknya mengintai dan menjadi bom waktu tak terelakkan. Betapa pun, ini merupakan  sisi lain ruang dilematis pengembangan pariwisata berbasis kearifan lokal diambang syndrome eksploitasi, pembangunanisme dan neoliberalisme dari masa ke masa. Jared Diamond dalam magnum oposnya, COLLAPSE: Runtuhnya Peradaban-peradaban Dunia, menyebut, Amnesia bentangan alam (Diamond, 2014: 559), bukanya tak mungkin mengakrabi kita di masa mendatang.
Oleh karena itu, pengelolaan SDA secara lestari, memperhatikan keberagaman sosio-kultural dan manfaat ekonomi dalam lingkup utuh tak terpisahkan, adalah sintesa terhadap paradigma antroposentrism. Konsepsi   pariwisata kekinian menemukan pergeseran paradigmatik, jalan tengah kreasi ekonomi lestari, menjaga bumi, sumber penghidupan tanpa harus menghabisi karunia Ilahi. Tulisan ini, berupaya  menyajikan perpektif pengembangan dan pengelolaan pariwisata berbasis kearifan lokal dengan mengarusutamakan keadilan ekologi sosio-kultural disamping merajut Daya Saing Daerah dan kemanfaatan ekonomi masyarkat Desa secara berkelanjutan. Sebuah konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan fase Reformasi hingga kini. Sisi lain, mendambakan ekonomi tanding yang berkeadilan ekologi populis sembari merawat pesona Halmahera Tengah adalah tujuan tulisan ini didedikasikan.

Ekowisata Yang  Belandaskan Falsafah Fagogoru
Pengembangan pariwisata berbasis kearifan lokal merupakan bagian integral dari konsepsi pariwisata berkelanjutan (sustainable tourisme). Word Tourism Organization (UNWTO) menyebutkan konsep pariwisata berkelanjutan mencakup tiga komponen utama, yakni (i) berkelanjutan secara lingkungan,  (ii) berkelanjutan secara ekonomi, dan (iii) berkelanjutan secara sosial budaya. Salah satu konsep pariwisata berkelanjutan adalah Ekowisata (ecotourism)[1]
Pariwisata berkelanjutan melalui ekowisata, oleh  Internasional Union for Conservation of Nature and Natural Resources (UICN), sebuah organisasi yang didekasikan untuk konservasi sumber daya alam, memberikan defenisi ekowisata yang selanjutnya   diadopsi oleh banyak organisasi, yaitu:
“Ekowisata adalah perjalanan bertanggung jawab secara lingkungan dan kunjungan ke kawasan alami, dalam rangka menikmati dan menghargai alam (serta semua ciri-ciri budaya masa lalu dan masa kini) untuk mempromosikan konservasi , memiliki dampak kecil dan mendorong pelibatan sosial secara ekonomi masyarakt lokal secar aktif sebagai penerima manfaat”
Konsep pariwisata berkelanjutan ini lebih lanjut, merupakan pengejewantahan dari prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang lebih menekankan paradigma pengelolaan sumber daya alam dan kebutuhan lintas generasi secara symbiosis-mutualism. Pemenuhana kebutuhan generasi masa kini tidak boleh mengorbankan masa depan generasi mendatang. Word Comission for Environmental and Development (WCED), sebuah lembaga di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), mengorbitkan   sustainable development ini kali pertama pada tahun 1987 melalui laporannya yang dikenal dengan Bruntland Report[2]. Dalam laporan tersebut, WCED menekankan pembangunan harus dapat mengakomodasi  tiga komponen penting yakni pertumbuhan/pendapatan  ekonomi (economic growth), perlindungan lingkungan (environmental protection) dan keadilan sosial (social equity). Tiga komponen utama ini harus saling terintegrasi dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan tanpa  menegasikan satu sama lain. Laporan ini mengilhami konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan dewasa kini.
Sebelum konsep pariwisata sampai pada wawasan keberlanjutan dan pengembangan melalui ekowisata, industri pesona alam ini mengalami dinamika kebijakan dan pergolakan pemikiran dari waktu ke waktu. kebijakan kepariwisataan lebih diarahkan pada upaya pertumbuhan dan pendapatan negara. Sejumlah destinasi wisata digalakkan secara besar-besaran untuk mengejar pertumbuhan ekonomi negara tanpa memperhatikan keseimbangan lingkungan dan kelestarian adat istiadat sebagai icon integral kepariwisataan.  Model pengembangan pariwista yang sentralistik, sekedar mengejar pertumbuhan ekonomi, pengabaian peran aktif masyarakat lokal, telah melatari lahirnya konspsi pariwisata berkelanjutan, perkembangan pemikiran kepariwisataan yang berkeadilan sosial, mengarusutamakan Hak Asasi Manusia (HAM), demokrasi, keadilan ekologis, keterlibatan masyarakat lokal dan berbasis pada nilai-nilai kearifan lokal, tanpa mengabaikan manfaat ekonomi melalui sector ini. Kearah inilah, pariwisata di Halmahera Tengah patut dikembangkan.
Halmahera Tengah merupakan Kabupaten di Maluku Utara dengan luas wilayah 8.381,48 km2 (daratan 2.276,83 km2, lautan 6.104,65 km2). Sekitar 73% luas lautan  dan sisanya 27% luas daratan,  terkecil di Maluku Utara.  Halmahera Tengah memiliki objek  wisata yang beragam yang dapat dijadikan list destinasi wisatawan lokal, regional, nasional bahkan internasional. Mulai dari objek wisata bahari,  wisata alam-hutan, atraksi kebudayaan terintegrasi dalam simpul ekowisata.  
Pulau Gebe misalnya, terdapat wisata bahari di Pulau Yoi dan Pantai Utara Pulau Gebe. Pulau ini memiliki sumber daya laut dan  keberagaman ikan yang mencapai 300 spesies melebihi Raja Ampat yang hanya memilki 290 spesies ikan[3]. Selain itu, pulau ini juga memiliki potensi wisata Pantai Mangrove dan terumbu karang yang unik.  Objek Wisata di Halmahera Tengah dapat dilihat pada bagian dibawah ini:
Nama Obyek Wisata
Lokasi
Jarak dari Ibukota Kabupaten (km)
(1)
(2)
(3)
1. Telaga Nusliko
Desa Nusliko
± 1,5 km
2. Pantai Nusliko
Desa Nusliko
± 1,5 km
3. Pulau Imam (Kuleyefo)
Desa Fidi Jaya
± 500 m
4. Pulau Mnaili dan Pulau Yefi
Kecamatan Weda
± 500 m
5. Air Terjun Moreala
Kecamatan Weda
± 2 km
6. Taman Laut Pasi Gurango dan Pasi Dua
Desa Sagea
± 55 km
7. Gua Boki Moruru
Desa Sagea
± 59 km
8. Talaga Legaya Lol
Desa Sagea
± 56 km
9. Pantai Bay Wolot
Desa Sagea
± 57 km
10. Pulau Mtum Ya
Desa Messa
± 26 km
11. Tanjung Ngolo popo
Kecamatan Patani
± 115 km
12. Pulau Uta
Kecamatan Pulau Gebe
± 136 km
13. Pulau Umera
Kecamatan Pulau Gebe
± 150 km
14. Talaga Umyal
Kecamatan Patani
± 118 km
15. Pulau Moor
Kecamatan Patani
± 115 km
16. Talaga Pulau Yoi
Kecamatan Pulau Gebe
± 136 km
17. Pulau Lewo
Kecamatan Patani Utara
± 118 km
18. Pantai Sayafi
Kecamatan Patani Utara
± 118 km
19. Danau Pulau Moor
Kecamatan Patani
± 115 km
20. Pantai Pulau Moor
Kecamatan Patani
± 115 km

Sumber : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Halmahera Tengah[4]

Selain potensi wisata diatas, Masyarakat Halmahera Tengah memiliki falsafah Fagogoru sebagai sistem nilai sosial yang dianut dan lestarikan secara turun temurun. Fagogoru merupakan  pandangan hidup tentang keadaban perilaku sosial masyarakat  Weda, Patani-Gebe, juga Maba di Halmahera Timur. 
Fagogoru secara termilogi adalah ungkapan kasih sayang antar  yang selanjutnya dijabarkan dalam nilai dasar ngaku rasai (pengakuan persaudaraan), budi re bahasa (budi pekerti dan bertutur), sopan hormat (kesopanan dan kehormatan) dan metat re meymoi (takut dan malu). Sebagai pandangan hidup, fagogoru    meletakkan kemanusian  sebagai poros utamanya. Karena itu , tak berlebihan,   dalam fagogoru terdapat pengendapan nilai humanime dan egalitarisme yang berangkat dari postulat transedensi kemanusian  . Tata nilai yang apik tentang penghormatan dan penghargaan yang tinggi pada prinsip-primsip Hak-Asasi Manusia (HAM), pelestarian lingkungan sebagai konsekuensi logis kultur masyarakat Halmahera tengah yang bercorak keagrarian  dan kemaritiman.
Selain Fagogoru, masyarakat Halmahera tengah juga memiliki modal sosial yang dikenal dengan Falgalali . Falgali merupakan semangat gotong royong, spirit dan solidaritas sosial saling membahu dalam membangun. Percerminan spirit Falgali ini dapat dilihat pada keseharian masyarakat  saat pembangunan rumah warga dan rumah ibadah, membuka lahan perkebunan, hajatan pernikahan maupun duka warga dan seterusnya. Ini merupakan komponen nilai praksis untuk mendorong perubahan sosial, termasuk mendorong pemberdayaan masyarakat Desa dan merajut daya saing Daerah disektor pengembangan pariwisata berbasis kearifan lokal
Mengintegrasikan nilai karifan lokal dalam pengembangan pariwisata  merupakan pekerjaan kolektif multipihak untuk merumuskan model dan branding pengembangan pariwisata berdaya guna secara ekonomi, ekologis dan bermartabat secara kebudayaan. Namun, dokumentasi nilai kearifan local ini disadari masih terbatas dan belum memadai
Dalam riset  Etnografi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Wilayah Maluku Utara (AMAN MALUT)  terdapat kurang lebih 16 komunitas (Pnu)   masyarakat adat yang masih memiliki pranata adat, hubungan yang kuat terhadap sumber daya alam, tanah dan hutan serta hukum adat yang mengatur hubungan sosial dan hubungan masyarakat dengan alam.[5]

Dalam hemat penulis, Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat merupakan keharusan dalam pengembangan pariwisata berbasis kearifan lokal. Percepatan pengesahan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengakuan dan Perlinduyngan Hak-hak masyarakat adat (PPHMA) di Halmahera Tengah dipandang sebagai terobosan produk hukum daerah untuk memberikan kepastian hukum sebagai subjek hukum dan wilayah adat sebagai objek hukumnya. Adalah ambiguitas, mendorong pengembangan pariwisata yang berbasis nilai kearifan lokal, namun disisi lain, masyarakat adat diperhadapkan dengan ancaman hilangnya sumber daya alam dan pranta adat yang perlahan tergerus zaman.
Pengembangan pariwisata berbasis kearifan lokal, Fagogoru yang merupakan pandangan hidup masyarakat Halmahera Tengah sangat memungkin suatau perencanaan dan pengembangan pariwisata yang berkelanjutan. Namun, tantangan dan ancaman turut membayangi ditengah semakin terbukanya peluang ekonomi di sektor pariwisata.

Peluang, Tantangan dan Ancaman Pariwisata Halteng
Halmahera Tengah secara geopolitik kepariwisataan, diapit oleh dua Kawasan destinasi wisata yang berskala Nasional dan sedang digalakkan menjadi zona wisata bertaraf Internasional. Adalah Kabupaten Raja Ampat dengan keindahan gugus pulau-pulanya dan Kabupaten Pulau Morotai yang sedang digalakkan oleh Pemerintah Pusat sebagai Bali kedua, go internasional. Ini merupakan peluang   pemaketan wisata transisional sembari mengisukan secara masif promosi wisata Halteng dalam   poros ekonomi pasifik.
Dalam skala global, Masa depan ekonomi dunia telah perlahan bergeser ke Kawasan Pasifik. Sejumlah negara yang tergabung dalam APEC dan ASEAN telah menyepaki beberapa konsenses ekonomi dunia yang didalamnya termasuk sektor pariwisata dan kemaritiman  sebagai salah satu icon yang diseriusi. Halmhera Tengah berada pada posisi stategis mestinya membaca peluang ini. Namun, peluang ini diperhadapkan pada tantangan kompetisi kepariwisataan sejumlah daerah yang terlanjur memiliki branding yang telah dikenal luas oleh masyarakat nasional maupun internasional. Hal ini, Pemerintah Daerah  perlu melakukan perencaanan kebijakan pariwisata yang holistic-integral dengan mengedepankan prinsip-prinsip pariwisata yang berkelanjutan. Perencanaan dan pengembangan wisata yang berbasis kearifan lokal dipertahukan untuk menemukan konsepsi branding yang tepat, berdaya saing secara socio-kultural dan ekonomis.  Menurut penulis, karakterisasi Wisata Fagogoru dengan segenap objek destinasi wisata yang eksotik pesona alamnya, adat istiadat dan keramatamahan masyarakatnya, memiliki daya pikat tersendiri menarik wisatawan untuk berkunjung di Halmahera Tengah
Bukanya tanpa resiko, peluang dan tantangan pariwisata di gerbang ekonomi pasifik juga terdapat ancaman serius. Liberalisasi ekonomi yang sarat perdagangan bebas potensial menggerus kedaulatan dan ketahanan  Daerah disektor investasi sumber daya alam, termasuk sektor pariwisata. Pilihan industrialiasi pariwisata, swastanisasi dan privatisasi  skala besar terbuka lebar kemungkinan konfliktual kepariwisataan. Gejala ini  serumpun dengan ancaman masifnya industri ektraktif.
Dalam Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Halmahera Tengah, Rezim Pemerintah Daerah Masa lalu, menetapkan 121.833 Ha atau 47,98% untuk industri pertambangan. Saat ini, Tercatat 66 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang sudah beroperasi dan bersiap siaga menambang Nikel, Batu Barah, dan Pasir Besi  (142.964,62 Ha). Selain itu, terdapat 1 (satu) Izin Perkebunan Sawit di Patani (11.870,00 Ha) dan 2  Izin Usaha Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Dalam Usaha Dalam Hutan Alam  (IUPHHK-HA) seluas 96.765,00 Ha. Ini merupakan ancaman nyata yang berdampak sistemik, yakni terbatasnya akses masyarakat, terhadap SDA, konflik agraria, kriminalisasi warga, kerusakan lingkungan, krisis air, bencana banjir, hilangnya komoditas lokal hingga konflik sosial antar masyarakat.[6] Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan diperhadapkan dengan situasi keterancaman serius ini. Oleh karena itu, peninjauan sejumlah izin diatas dengan harapan dilakunya moratorium adalah keharusan untuk menunjang pengembangan pariwisata yang berkelanjutan secara ekologis, sosio-kultural dan ekonomis, termasuk dalam mendorong pemberdayaan masyarakat Desa dan daya saing Daerah di sektor ekowisata.
  

Merajut Desa Ekowisata
Pemerintah Daerah Kabupaten  Halmahera Tengah telah menetapkan 10 (sepuluh) prioritas  destinasi wisata melalau Surat Keputusan (SK) Bupati.  Namun menuai protes sejumlah kalangan. Demostrasi Mahasiswa beberapa waktu lalu menolak penetapan Pulau Sayafi dan Liwo turut mewarnai dinamika  kebijakan kepariwisataan Daerah. Dalam amatan Penulis, penolakan itu cukup beralasan dengan argumentasi kekhawatiran pergeseran mata pencaharian masyarakat setempat ke objek baru yang belum familiar dikalangan masyarakat.
Pulau Sayafi dan Liwo adalah dua pulau eksotik yang memiliki garis pantai pasir putih yang halus, sumber daya hayati laut berupa terumbu karang, spesies ikan. Selain itu, Pulau Sayafi dan Liwo merupakan Perkebunan Kelapa Dalam dan Peternakan Sapi yang dimiliki oleh masyarakat Patani Utara sejak turun temurun.
Menurut hemat Penulis, problem mendasar yang berpotensi menggeser mata pencaharian masyarakat setempat adalah ketika pengembanagan Pariwisata Bahari di Pulau Sayafi diswastanisasi lalu diprivatisasi. Hal ini berpotensi menghilangkan akses masyarakat terhadap sumber-sumber penghidupannya. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah dituntut memiliki keberanian mengembangkan pariwisata yang dapat mengedepankan aspek penguasaan dan kepemilikan masyarakat lokal dengan tidak mengabaikan sumber pendapatan masyarakat di sektor perkebunan, perikanan dan peternakan. Tiga objek pendapatan masyarakat ini dapat dirumuskan dalam skema pengembangan pariwisata yang terintegrasi dalam model ekowisata bahari dan agrowisata  tanpa menghilangkan aspek kepemilikan dan penguasaan masyarakat terhadap sumber daya alam tersebut
Kongretisasi pengembangan pariwisata berbasis kearifan lokal berkonsekuensi logis pada penguatan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat Desa. Gerakan ekowisata di pantai Siben Mara Desa Paloh, Kecamatan Patani Timur merupakan percontohan realisasi desa ekowisata yang harus dorong di Halmahera Tengah. Gerakan ini merupakan konsep yang kontekstual dan objektif karena  letak destinasi wisata   berada Desa-desa di Halmhera Tengah. Selain itu, konsep Desa wisata ini akan berdampak langsung terhadap  pemberdayaan masyarakat Desa, daya saing Daerah di sektor pariwisata.

Wisata Fagogoru, Sebuah Branding   
Pengembangan pariwisata yang berbasis nilai kearifan local memerlukan  perencanaan kebijakan  yang matang. Baranding merupakan tahap simpulan kristalisasi nilai dengan destinasi wisata yang dikemas secara apik dan menawan. Menurut hemat Penulis, Wisata Fagogoru, sebuah Branding,  berangkat dari kesadaran nilai sosio-kultural dan pelestarian lingkungan yang harus terintegrasi dalam kebijakan pariwisata di Halmahera Tengah.
Masyarakat Halmahera Tengah sebagai masyarakat adat memegang teguh adat istiadat dan seni budaya atraktif, diantaranya (i) Cokaiba dan Fanten, (ii) Tarian Lalayon,  dan (iii) Tarian Cakalele. (lebih lanjut, Baca: NA Ranperda PPHMA, 2019: 22-23). Dalam tawaran penulis, mengakhiri tulisan ini, Festival Atraksi 1000  Cokaiba Nasional dimaksudkan sebagai pintu masuk promosi wisata Halmahera Tengah. Festival ini ditargetkan  meraih Rekor MURI atraksi budaya sekaligus dirangkaikan dengan promosi paket ekowisata Halmahera Tengah.
Sebagai saran, Wisata Faggogoru, sebuah branding, perlu didorong secara serius melalui riset dan intesitas kegiatan Forum Gruop Discussion (FDG), Lokakarnya, Sarasehan dan forum akademik lainya guna menemukenali narasi deskriptif potensi wisata alam maupun atraksi kebudayaan. Dan, utamanya  riset etnografi masyarakat Halmahera Tengah dalam aspek kesejarahan Fagogoru sebagai upaya dini   rekontekstualisasi nilai dasar Ngaku Rasai, Budi Bahasa, Sopan Hormat dan Metat re Meymoi dalam pengembangan pariwisata yang berbasis kearifan lokal.




[1] UNWTO adalah salah satu badan dari dari PBB yang  menangani masalah wisata dan dan membuuat peringkat pariwisata di dunia. Dibentuk pada tahun 1 957, Markas besarnya berkedudukan di Madrid, Spanyol.  Akses https://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi_Pariwisata_Dunia diakses pada sabtu, Januari 2019, pkl 10.12 WIB 
[2]Brundland Report adalah   laporan WCED  di PBB yang pertama kali menggunakan istilah “pembangunan berkelanjutan”. Gagasan ini menyebar keseluruh dunia sejak pertama kali diterbitkan pada tahun 1987.
[4]Diambil pada laman https://haltengkab.bps.go.id/statictable/2015/05/13/9/nama-nama-obyek-wisata-dan-jarak-dari-ibukota-kabupaten-di-halmahera-tengah.html Badan Pusat Statistik Halmahera Tengah, diakses pada Sabtu, 04 Januari 2020 (pkl. 03.24 WIB)  
[5] Hasil riset ini termuat dalam Naskah Akademik  (NA) Rancangan Peraturan Daerah (RANPERDA) Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat (PPHMA) di Halmahera Tengah, versi AMAN Maluku Utara.
[6] Data advokasi AMAN Maluku utara, Peta Investasi dan Daya Rusak di Maluku Utara, 2019.

Komentar

Posting Komentar