WISATA FAGOGORU
"Sebuah
Pengembangan Pariwisata Berbasis Kearifan Lokal di Halmahera Tengah"
Mahasiswa Indonesia Jentera School of Law
Merawat Pesona Halmahera Tengah
Rasanya
tak berlebihan, jika Halmahera Tengah disebut sebagai salah satu mutu-manikam
di Kawasan Timur Nusantara. Boki Moruru yang dilansir Gua Terpanjang di dunia,
hamparan Pasir putih di Pulau Sayafi dan Liwo, Danau Pulau Moor yang teduh,
Telaga Yoi yang membiru, Telaga Nusliko yang dipagari hijaunya Mangrove, senja di Pulau Imam-Khuleyefu, Lemba Hutan
Akejira dan seterusnya, ialah sekian
destinasi eksotika yang
menghampar elok di 27% luas daratan dari total luas wilayah Halmahera Tengah (Halteng).
Tanpa terkecuali, 73% luas Perairan Laut yang kaya potensi Kelautan dan garis
Pantai beserta kondisi bawah laut yang memiliki keunikan spesies endemik dan
terumbu karang yang masih lestari. Pun, beralasan slogan Baronda Halteng
di gaungkan, promosi daya pikat pesona Halmahera Tengah dimata publik Regional,
Nasioal maupun Internasional untuk berkunjung menjamah surga rekreasi
yang jatuh di bumi Fagogoru ini.
Keindahan
alam merupakan karunia dan mahakarya
Tuhan Yang Maha Esa. Patut disyukuri dengan segenap rasa memiliki sarat hastrat lestari. Di kelola atau
diterlantarkan, adalah pertanyaan mendasar sebelum lanscape mutu-manikam
daerah ini direnggut nestapa puing rongsokan, sebelum senandung memoriam merekah kengerian-kerakusan ekstrasi
yang geliat bergerak massif, menepih piluh dikemudian hari.
Mensyukuri
nikmat hamparan alam dengan segala elok eksotik tersebut diatas adalah pilihan
untuk menjaga kelangsungan alam tetap lestari dan berdaya guna secara simbiosa-mutualism.
Namun,Perpektif pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) cukup kompleks dengan dalil
kemanfaatan yang beragam pula. Bahkan
pun, paradigma alam untuk manusia (antroposentrism) mewarnai pola pikir
manusia dalam memandang dan memperlakukan alam sebagai mesin pemuas kebutuhan
manusia. Tanpa terkecuali paradigma
pengelolaan pariwisata masa lalu masih mengadopsi konsepsi sumber daya yang
bernilai wisata pada term ekonomi semata. Giliranya, alam sekedar
tumpukan sumber daya yang menjanjikan benefit
ekonomi. Pilihan pengelolaanya pun, menggeliatkan sejumlah industri ekstraktif
untuk mengeruk SDA dan menjual pesona alam, bermuara pada titik yang
menghawatirkan keberlangsungan daya dukung lingkungan. Hingga kerapkali,
alam menampakkan peran antagonisnya
berupa bencana alam sebagai akumulasi
ketidakmampuan daya tampung kerusakan yang mengsubsidi ketidakesimbangan dan merentang-pendek daya dukung lingkungan.
Ketika
Halmahera Tengah diproyeksikan sebagai Kawasan ekonomi khusus (KEK) industri
pertambangan, Bonus keterancaman keindahan pulau beserta objek eksotiknya
mengintai dan menjadi bom waktu tak terelakkan. Betapa pun, ini merupakan sisi lain ruang dilematis pengembangan
pariwisata berbasis kearifan lokal diambang syndrome eksploitasi, pembangunanisme
dan neoliberalisme dari masa ke masa. Jared Diamond dalam magnum
oposnya, COLLAPSE: Runtuhnya Peradaban-peradaban Dunia, menyebut, Amnesia
bentangan alam (Diamond, 2014: 559), bukanya tak mungkin mengakrabi kita di
masa mendatang.
Oleh karena itu, pengelolaan SDA secara
lestari, memperhatikan keberagaman sosio-kultural dan manfaat ekonomi dalam
lingkup utuh tak terpisahkan, adalah sintesa terhadap paradigma antroposentrism.
Konsepsi pariwisata kekinian menemukan
pergeseran paradigmatik, jalan tengah kreasi ekonomi lestari, menjaga bumi,
sumber penghidupan tanpa harus menghabisi karunia Ilahi. Tulisan ini,
berupaya menyajikan perpektif
pengembangan dan pengelolaan pariwisata berbasis kearifan lokal dengan
mengarusutamakan keadilan ekologi sosio-kultural disamping merajut Daya Saing
Daerah dan kemanfaatan ekonomi masyarkat Desa secara berkelanjutan. Sebuah
konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan fase Reformasi hingga kini. Sisi
lain, mendambakan ekonomi tanding yang berkeadilan ekologi populis
sembari merawat pesona Halmahera Tengah adalah tujuan tulisan ini
didedikasikan.
Ekowisata
Yang Belandaskan Falsafah Fagogoru
Pengembangan
pariwisata berbasis kearifan lokal merupakan bagian integral dari konsepsi
pariwisata berkelanjutan (sustainable tourisme). Word Tourism
Organization (UNWTO) menyebutkan konsep pariwisata berkelanjutan mencakup
tiga komponen utama, yakni (i) berkelanjutan secara lingkungan, (ii) berkelanjutan secara ekonomi, dan (iii)
berkelanjutan secara sosial budaya. Salah satu konsep pariwisata berkelanjutan
adalah Ekowisata (ecotourism)[1]
Pariwisata
berkelanjutan melalui ekowisata, oleh Internasional
Union for Conservation of Nature and Natural Resources (UICN), sebuah
organisasi yang didekasikan untuk konservasi sumber daya alam, memberikan
defenisi ekowisata yang selanjutnya
diadopsi oleh banyak organisasi, yaitu:
“Ekowisata
adalah perjalanan bertanggung jawab secara lingkungan dan kunjungan ke kawasan
alami, dalam rangka menikmati dan menghargai alam (serta semua ciri-ciri budaya
masa lalu dan masa kini) untuk mempromosikan konservasi , memiliki dampak kecil
dan mendorong pelibatan sosial secara ekonomi masyarakt lokal secar aktif
sebagai penerima manfaat”
Konsep
pariwisata berkelanjutan ini lebih lanjut, merupakan pengejewantahan dari
prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang lebih
menekankan paradigma pengelolaan sumber daya alam dan kebutuhan lintas generasi
secara symbiosis-mutualism. Pemenuhana kebutuhan generasi masa kini tidak boleh
mengorbankan masa depan generasi mendatang. Word Comission for Environmental
and Development (WCED), sebuah lembaga di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB),
mengorbitkan sustainable development
ini kali pertama pada tahun 1987 melalui laporannya yang dikenal
dengan Bruntland Report[2].
Dalam laporan tersebut, WCED menekankan pembangunan harus dapat
mengakomodasi tiga komponen penting
yakni pertumbuhan/pendapatan ekonomi (economic
growth), perlindungan lingkungan (environmental protection) dan
keadilan sosial (social equity). Tiga komponen utama ini harus saling
terintegrasi dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan
tanpa menegasikan satu sama lain.
Laporan ini mengilhami konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan dewasa
kini.
Sebelum
konsep pariwisata sampai pada wawasan keberlanjutan dan pengembangan melalui
ekowisata, industri pesona alam ini mengalami dinamika kebijakan dan pergolakan
pemikiran dari waktu ke waktu. kebijakan kepariwisataan lebih diarahkan pada
upaya pertumbuhan dan pendapatan negara. Sejumlah destinasi wisata digalakkan
secara besar-besaran untuk mengejar pertumbuhan ekonomi negara tanpa
memperhatikan keseimbangan lingkungan dan kelestarian adat istiadat sebagai icon
integral kepariwisataan. Model
pengembangan pariwista yang sentralistik, sekedar mengejar pertumbuhan ekonomi,
pengabaian peran aktif masyarakat lokal, telah melatari lahirnya konspsi
pariwisata berkelanjutan, perkembangan pemikiran kepariwisataan yang
berkeadilan sosial, mengarusutamakan Hak Asasi Manusia (HAM), demokrasi,
keadilan ekologis, keterlibatan masyarakat lokal dan berbasis pada nilai-nilai
kearifan lokal, tanpa mengabaikan manfaat ekonomi melalui sector ini. Kearah
inilah, pariwisata di Halmahera Tengah patut dikembangkan.
Halmahera
Tengah merupakan Kabupaten di Maluku Utara dengan luas wilayah 8.381,48 km2
(daratan 2.276,83 km2, lautan 6.104,65 km2). Sekitar 73% luas lautan dan sisanya 27% luas daratan, terkecil di Maluku Utara. Halmahera Tengah memiliki objek wisata yang beragam yang dapat dijadikan list
destinasi wisatawan lokal, regional, nasional bahkan internasional. Mulai dari
objek wisata bahari, wisata alam-hutan,
atraksi kebudayaan terintegrasi dalam simpul ekowisata.
Pulau
Gebe misalnya, terdapat wisata bahari di Pulau Yoi dan Pantai Utara Pulau Gebe.
Pulau ini memiliki sumber daya laut dan keberagaman ikan yang mencapai 300 spesies
melebihi Raja Ampat yang hanya memilki 290 spesies ikan[3].
Selain itu, pulau ini juga memiliki potensi wisata Pantai Mangrove dan terumbu
karang yang unik. Objek Wisata di
Halmahera Tengah dapat dilihat pada bagian dibawah ini:
Nama Obyek Wisata
|
Lokasi
|
Jarak dari Ibukota Kabupaten (km)
|
(1)
|
(2)
|
(3)
|
1. Telaga Nusliko
|
Desa Nusliko
|
± 1,5 km
|
2. Pantai Nusliko
|
Desa Nusliko
|
± 1,5 km
|
3. Pulau Imam (Kuleyefo)
|
Desa Fidi Jaya
|
± 500 m
|
4. Pulau Mnaili dan Pulau Yefi
|
Kecamatan Weda
|
± 500 m
|
5. Air Terjun Moreala
|
Kecamatan Weda
|
± 2 km
|
6. Taman Laut Pasi Gurango dan Pasi Dua
|
Desa Sagea
|
± 55 km
|
7. Gua Boki Moruru
|
Desa Sagea
|
± 59 km
|
8. Talaga Legaya Lol
|
Desa Sagea
|
± 56 km
|
9. Pantai Bay Wolot
|
Desa Sagea
|
± 57 km
|
10. Pulau Mtum Ya
|
Desa Messa
|
± 26 km
|
11. Tanjung Ngolo popo
|
Kecamatan Patani
|
± 115 km
|
12. Pulau Uta
|
Kecamatan Pulau Gebe
|
± 136 km
|
13. Pulau Umera
|
Kecamatan Pulau Gebe
|
± 150 km
|
14. Talaga Umyal
|
Kecamatan Patani
|
± 118 km
|
15. Pulau Moor
|
Kecamatan Patani
|
± 115 km
|
16. Talaga Pulau Yoi
|
Kecamatan Pulau Gebe
|
± 136 km
|
17. Pulau Lewo
|
Kecamatan Patani Utara
|
± 118 km
|
18. Pantai Sayafi
|
Kecamatan Patani Utara
|
± 118 km
|
19. Danau Pulau Moor
|
Kecamatan Patani
|
± 115 km
|
20. Pantai Pulau Moor
|
Kecamatan Patani
|
± 115 km
|
Sumber : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
Kabupaten Halmahera Tengah[4]
|
Selain
potensi wisata diatas, Masyarakat Halmahera Tengah memiliki falsafah Fagogoru
sebagai sistem nilai sosial yang dianut dan lestarikan secara turun temurun. Fagogoru
merupakan pandangan hidup tentang
keadaban perilaku sosial masyarakat Weda, Patani-Gebe, juga Maba di Halmahera
Timur.
Fagogoru
secara termilogi adalah ungkapan kasih sayang antar yang selanjutnya dijabarkan dalam nilai dasar
ngaku rasai (pengakuan persaudaraan), budi re bahasa (budi
pekerti dan bertutur), sopan hormat (kesopanan dan kehormatan) dan metat
re meymoi (takut dan malu). Sebagai pandangan hidup, fagogoru meletakkan kemanusian sebagai poros utamanya. Karena itu , tak
berlebihan, dalam fagogoru terdapat pengendapan nilai humanime
dan egalitarisme yang berangkat dari postulat transedensi kemanusian . Tata nilai yang apik tentang penghormatan
dan penghargaan yang tinggi pada prinsip-primsip Hak-Asasi Manusia (HAM),
pelestarian lingkungan sebagai konsekuensi logis kultur masyarakat Halmahera
tengah yang bercorak keagrarian dan kemaritiman.
Selain
Fagogoru, masyarakat Halmahera tengah juga memiliki modal sosial yang
dikenal dengan Falgalali . Falgali merupakan semangat gotong
royong, spirit dan solidaritas sosial saling membahu dalam membangun.
Percerminan spirit Falgali ini dapat dilihat pada keseharian masyarakat saat pembangunan rumah warga dan rumah ibadah,
membuka lahan perkebunan, hajatan pernikahan maupun duka warga dan seterusnya. Ini
merupakan komponen nilai praksis untuk mendorong perubahan sosial, termasuk
mendorong pemberdayaan masyarakat Desa dan merajut daya saing Daerah disektor
pengembangan pariwisata berbasis kearifan lokal
Mengintegrasikan
nilai karifan lokal dalam pengembangan pariwisata merupakan pekerjaan kolektif multipihak untuk
merumuskan model dan branding pengembangan pariwisata berdaya guna
secara ekonomi, ekologis dan bermartabat secara kebudayaan. Namun, dokumentasi
nilai kearifan local ini disadari masih terbatas dan belum memadai
Dalam
riset Etnografi Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara Wilayah Maluku Utara (AMAN MALUT) terdapat kurang lebih 16 komunitas (Pnu)
masyarakat adat yang masih memiliki pranata
adat, hubungan yang kuat terhadap sumber daya alam, tanah dan hutan serta hukum
adat yang mengatur hubungan sosial dan hubungan masyarakat dengan alam.[5]
Dalam
hemat penulis, Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat merupakan
keharusan dalam pengembangan pariwisata berbasis kearifan lokal. Percepatan
pengesahan Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengakuan dan Perlinduyngan Hak-hak
masyarakat adat (PPHMA) di Halmahera Tengah dipandang sebagai terobosan produk
hukum daerah untuk memberikan kepastian hukum sebagai subjek hukum dan wilayah
adat sebagai objek hukumnya. Adalah ambiguitas, mendorong pengembangan
pariwisata yang berbasis nilai kearifan lokal, namun disisi lain, masyarakat
adat diperhadapkan dengan ancaman hilangnya sumber daya alam dan pranta adat yang
perlahan tergerus zaman.
Pengembangan
pariwisata berbasis kearifan lokal, Fagogoru yang merupakan pandangan
hidup masyarakat Halmahera Tengah sangat memungkin suatau perencanaan dan
pengembangan pariwisata yang berkelanjutan. Namun, tantangan dan ancaman turut
membayangi ditengah semakin terbukanya peluang ekonomi di sektor pariwisata.
Peluang,
Tantangan dan Ancaman Pariwisata Halteng
Halmahera
Tengah secara geopolitik kepariwisataan, diapit oleh dua Kawasan destinasi
wisata yang berskala Nasional dan sedang digalakkan menjadi zona wisata
bertaraf Internasional. Adalah Kabupaten Raja Ampat dengan keindahan gugus
pulau-pulanya dan Kabupaten Pulau Morotai yang sedang digalakkan oleh
Pemerintah Pusat sebagai Bali kedua, go internasional. Ini merupakan
peluang pemaketan wisata transisional
sembari mengisukan secara masif promosi wisata Halteng dalam poros
ekonomi pasifik.
Dalam
skala global, Masa depan ekonomi dunia telah perlahan bergeser ke Kawasan
Pasifik. Sejumlah negara yang tergabung dalam APEC dan ASEAN telah menyepaki
beberapa konsenses ekonomi dunia yang didalamnya termasuk sektor pariwisata dan
kemaritiman sebagai salah satu icon
yang diseriusi. Halmhera Tengah berada pada posisi stategis mestinya membaca
peluang ini. Namun, peluang ini diperhadapkan pada tantangan kompetisi
kepariwisataan sejumlah daerah yang terlanjur memiliki branding yang
telah dikenal luas oleh masyarakat nasional maupun internasional. Hal ini,
Pemerintah Daerah perlu melakukan
perencaanan kebijakan pariwisata yang holistic-integral dengan
mengedepankan prinsip-prinsip pariwisata yang berkelanjutan. Perencanaan dan
pengembangan wisata yang berbasis kearifan lokal dipertahukan untuk menemukan
konsepsi branding yang tepat, berdaya saing secara socio-kultural dan
ekonomis. Menurut penulis, karakterisasi
Wisata Fagogoru dengan segenap objek destinasi wisata yang eksotik
pesona alamnya, adat istiadat dan keramatamahan masyarakatnya, memiliki daya
pikat tersendiri menarik wisatawan untuk berkunjung di Halmahera Tengah
Bukanya
tanpa resiko, peluang dan tantangan pariwisata di gerbang ekonomi pasifik juga
terdapat ancaman serius. Liberalisasi ekonomi yang sarat perdagangan
bebas potensial menggerus kedaulatan dan ketahanan Daerah disektor investasi sumber daya alam,
termasuk sektor pariwisata. Pilihan industrialiasi pariwisata, swastanisasi dan
privatisasi skala besar terbuka lebar
kemungkinan konfliktual kepariwisataan. Gejala ini serumpun dengan ancaman masifnya industri
ektraktif.
Dalam Rancangan Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Halmahera Tengah, Rezim Pemerintah Daerah Masa
lalu, menetapkan 121.833 Ha atau 47,98% untuk industri pertambangan. Saat ini,
Tercatat 66 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang sudah beroperasi dan bersiap
siaga menambang Nikel, Batu Barah, dan Pasir Besi (142.964,62 Ha). Selain itu, terdapat 1
(satu) Izin Perkebunan Sawit di Patani (11.870,00 Ha) dan 2 Izin Usaha Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
Dalam Usaha Dalam Hutan Alam (IUPHHK-HA)
seluas 96.765,00 Ha. Ini merupakan ancaman nyata yang berdampak sistemik, yakni
terbatasnya akses masyarakat, terhadap SDA, konflik agraria, kriminalisasi
warga, kerusakan lingkungan, krisis air, bencana banjir, hilangnya komoditas
lokal hingga konflik sosial antar masyarakat.[6] Pengembangan
Pariwisata Berkelanjutan diperhadapkan dengan situasi keterancaman serius ini.
Oleh karena itu, peninjauan sejumlah izin diatas dengan harapan dilakunya moratorium
adalah keharusan untuk menunjang pengembangan pariwisata yang berkelanjutan
secara ekologis, sosio-kultural dan ekonomis, termasuk dalam mendorong
pemberdayaan masyarakat Desa dan daya saing Daerah di sektor ekowisata.
Merajut
Desa Ekowisata
Pemerintah
Daerah Kabupaten Halmahera Tengah telah
menetapkan 10 (sepuluh) prioritas destinasi
wisata melalau Surat Keputusan (SK) Bupati.
Namun menuai protes sejumlah kalangan. Demostrasi Mahasiswa beberapa
waktu lalu menolak penetapan Pulau Sayafi dan Liwo turut mewarnai dinamika kebijakan kepariwisataan Daerah. Dalam amatan
Penulis, penolakan itu cukup beralasan dengan argumentasi kekhawatiran
pergeseran mata pencaharian masyarakat setempat ke objek baru yang belum
familiar dikalangan masyarakat.
Pulau
Sayafi dan Liwo adalah dua pulau eksotik yang memiliki garis pantai pasir putih
yang halus, sumber daya hayati laut berupa terumbu karang, spesies ikan.
Selain itu, Pulau Sayafi dan Liwo merupakan Perkebunan Kelapa Dalam dan
Peternakan Sapi yang dimiliki oleh masyarakat Patani Utara sejak turun temurun.
Menurut
hemat Penulis, problem mendasar yang berpotensi menggeser mata pencaharian
masyarakat setempat adalah ketika pengembanagan Pariwisata Bahari di Pulau
Sayafi diswastanisasi lalu diprivatisasi. Hal ini berpotensi menghilangkan
akses masyarakat terhadap sumber-sumber penghidupannya. Oleh karena itu,
Pemerintah Daerah dituntut memiliki keberanian mengembangkan pariwisata yang
dapat mengedepankan aspek penguasaan dan kepemilikan masyarakat lokal dengan
tidak mengabaikan sumber pendapatan masyarakat di sektor perkebunan, perikanan
dan peternakan. Tiga objek pendapatan masyarakat ini dapat dirumuskan dalam
skema pengembangan pariwisata yang terintegrasi dalam model ekowisata bahari
dan agrowisata tanpa menghilangkan aspek
kepemilikan dan penguasaan masyarakat terhadap sumber daya alam tersebut
Kongretisasi
pengembangan pariwisata berbasis kearifan lokal berkonsekuensi logis pada
penguatan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat Desa. Gerakan ekowisata di pantai
Siben Mara Desa Paloh, Kecamatan Patani Timur merupakan percontohan realisasi
desa ekowisata yang harus dorong di Halmahera Tengah. Gerakan ini merupakan
konsep yang kontekstual dan objektif karena
letak destinasi wisata berada
Desa-desa di Halmhera Tengah. Selain itu, konsep Desa wisata ini akan berdampak
langsung terhadap pemberdayaan
masyarakat Desa, daya saing Daerah di sektor pariwisata.
Wisata
Fagogoru, Sebuah Branding
Pengembangan
pariwisata yang berbasis nilai kearifan local memerlukan perencanaan kebijakan yang matang. Baranding merupakan tahap
simpulan kristalisasi nilai dengan destinasi wisata yang dikemas secara apik
dan menawan. Menurut hemat Penulis, Wisata Fagogoru, sebuah Branding, berangkat dari kesadaran nilai sosio-kultural
dan pelestarian lingkungan yang harus terintegrasi dalam kebijakan pariwisata
di Halmahera Tengah.
Masyarakat Halmahera Tengah sebagai masyarakat adat
memegang teguh adat istiadat dan seni budaya atraktif, diantaranya (i) Cokaiba
dan Fanten, (ii) Tarian Lalayon,
dan (iii) Tarian Cakalele. (lebih lanjut, Baca: NA
Ranperda PPHMA, 2019: 22-23). Dalam tawaran penulis, mengakhiri tulisan ini, Festival
Atraksi 1000 Cokaiba Nasional dimaksudkan
sebagai pintu masuk promosi wisata Halmahera Tengah. Festival ini ditargetkan meraih Rekor MURI atraksi budaya
sekaligus dirangkaikan dengan promosi paket ekowisata Halmahera Tengah.
Sebagai
saran, Wisata Faggogoru, sebuah branding, perlu didorong secara
serius melalui riset dan intesitas kegiatan Forum Gruop Discussion (FDG), Lokakarnya,
Sarasehan dan forum akademik lainya guna menemukenali narasi deskriptif potensi
wisata alam maupun atraksi kebudayaan. Dan, utamanya riset etnografi masyarakat Halmahera Tengah
dalam aspek kesejarahan Fagogoru sebagai upaya dini rekontekstualisasi nilai dasar Ngaku Rasai,
Budi Bahasa, Sopan Hormat dan Metat re Meymoi
dalam pengembangan pariwisata yang berbasis kearifan lokal.
[1] UNWTO adalah salah satu badan dari dari PBB yang menangani masalah wisata dan dan membuuat
peringkat pariwisata di dunia. Dibentuk pada tahun 1 957, Markas besarnya
berkedudukan di Madrid, Spanyol. Akses https://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi_Pariwisata_Dunia
diakses pada sabtu, Januari 2019, pkl 10.12 WIB
[2]Brundland Report adalah laporan WCED di PBB yang pertama kali menggunakan istilah
“pembangunan berkelanjutan”. Gagasan ini menyebar keseluruh dunia sejak pertama
kali diterbitkan pada tahun 1987.
[3] https://wartawisata.id/2019/09/10/wajib-kunjungi-tempat-wisata-halmahera-tengah-ini/,
diakses pada Sabtu, 04 Januari 2019 (pkl. 17.06 WIB)
[4]Diambil pada laman https://haltengkab.bps.go.id/statictable/2015/05/13/9/nama-nama-obyek-wisata-dan-jarak-dari-ibukota-kabupaten-di-halmahera-tengah.html
Badan Pusat
Statistik Halmahera Tengah, diakses pada Sabtu, 04 Januari 2020 (pkl. 03.24
WIB)
[5] Hasil riset ini termuat dalam Naskah Akademik (NA) Rancangan Peraturan Daerah (RANPERDA)
Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat (PPHMA) di Halmahera Tengah,
versi AMAN Maluku Utara.
[6] Data advokasi AMAN Maluku utara, Peta Investasi dan Daya Rusak
di Maluku Utara, 2019.
Good luck😊
BalasHapusTerimakasih ��
BalasHapusThanks anikdel. Hehe
BalasHapus